WAnita Tangguh Ibu KotA (WATIKA)
Diperjalanan menuju kosan
kutemui sesosok wanita paruh baya ibu kota yang tengah tertidur pulas dengan
tumpukan koran dipangkuannya. Baju compang camping seadanya bisa jadi selalu
menjadi selimut tidurnya. Topi kumuh warna coklat tua menjadi pelindung dari
panasnya ibu kota. Tongkat tua tersandar di dekatnya menjadi saksi bisu ringkih
tubuhnya. Asap kendaraan yang kian hari mengikis lapisan ozon bumi, nyatanya
juga membuat sesak nafas wanita paruh baya itu. Mari kita sebut dia watika.
Watika, enam puluh tahun asal dari kota kembang ternyata sudah setengah abad
merantau di ibu kota. obrolan singkatku dengannya membuat ia melompat jauh di
masa lalunya. Lima puluh tahun silam, ia tinggalkan kota kembang demi masa
depan yang cerah. Masa depan yang ia harapkan mampu menjadi topangan hidup
nantinya. Watika sebatang kara, ia ditinggalkan mak bapaknya sedari ia masih
sekolah dasar. Belum juga tamat sekolah dasar, ia sudah harus membantu mengais
rezeki bersama pamannya. Tak bisa dipungkiri, pamannya berasal dari ekonomi
yang amat pas-pasan. Tekat yang begitu bulat membuat watika memutuskan untuk
merantau di Ibu Kota. Ibu kota yang ia pikir akan menjadi kota sejuta
kemapanan, kemuliaan dan kesejahteraan nyatanya 180 derajat berbanding
terbalik. Pertanyaan muncul dibenakku bahwa di kota besar ini dengan lulusan
sekolah dasar apa yang bisa ia dapatkan. Benar saja, tidak ada yang mau
menerima watika sebagai pekerja. Tiga bulan lamanya ia terkatung-katung tak ada
arah. Ia hanya menumpang tidur di rumah kardus bawah jembatan dekat Stasiun Gambir.
Makanpun ia harus dapatkan dengan mengais bersama teman pemulungnya. Hingga
suatu hari ia bertemu dengan pria bernama Purnomo. Purnomo merasa tertarik dengan
cantik parasnya si watika. Purnomo menawarkan sebuah pekerjaan yang
menghasilkan ratusan ribu bahkan jutaan tiap harinya. Yah,, menjadi seorang
pelayanan di salah satu warung malam di Ibu Kota. Tawaran yang menggiurkan itu
membuat watika memutuskan untuk mencoba pekerjaan haram itu. Gemerlap dunia
malam membuat ia semakin menggila. Pekerjaan itu menjadikan kehidupan watika
sedikit tertata. Minimal ia bisa tidur di kosan kecil ukuran 3x3. Hingga suatu
hari kecelakaan menimpa dirinya. Ia menjadi korban tabrak lari yang membuatnya
cacat kaki permanen. Sebuah teguran dari Tuhan untuknya. Tuhan menginginkan
seberat apapun cobaan yang dihadapi tetaplah berada pada jalurnya. Cacat kaki
membuat watika depresi. Ia kehilangan pekerjaannya dan teman dekatnya. Kehidupan
terus berlanjut dan roda kehidupan terus berputar. Watika kembali bangkit dari
keterpurukannya. Ia mencoba bekerja menjadi penjual koran ecer di persimpangan
Statiun Pasar Senen. Terkadang malam ia menjadi marbot masjid dan siang menjadi
penjual koran.
Pekerjaan yang tidak
menentu nyatanya membuat ia lebih tentram menjalani hari-harinya. Logisnya,
kehidupan mewah yang dijalaninya beberapa tahun silam justru tidak membuatnya
tentram. Begitu sebaliknya, kehidupan yang ia jalani meski harus menjadi
pengemis, penjual koran dan tukang bersih masjid membuat ia merasa cukup.
Watika merasa baik-baik saja jika harus jalan
puluhan kilo, menjual koran
dipersimpangan dan tertidur dipinggiran trotoar jalan. Watika sadar ketentraman
hati bukan diukur dari apa yang kita punya. Ketentraman hati diukur dari apa
yang kita syukuri.
Jakarta, 7 Maret 2020
Ria
Komentar
Posting Komentar